www.gurukayailmu.blogspot.com

Baca dulu bentar ....

CONTENT DETAIL (KOMPLEKS) MAKA REDAKSI DIBUAT DALAM BEBERAPA FORMAT SEPERTI WORD,PDF,XLS, PPT.., JADI MESKI MENGGUNGGAH TERLEBIH DAHULU.
PADA SAAT MEMBACA CONTENT TERDAPAT PENGULANGAN REDAKSI ....MAAF KALAU MEMBINGUNGKAN...MAKSUDNYA AGAR LEBIH FOKUS ;).
BEBERAPA CONTENT DIAMBIL DARI SUMBER LAIN, JIKA ADA YANG MERASA KEBERATAN ADMIN AKAN MENGHAPUSNYA. TRIMS.

Rabu, 13 Juli 2011

PTK kepentingan Guru atau Untuk Siswa ?

Baru-baru ini pemerintah yang diwakili oleh  Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengeluarkan peraturan  mengenai Prosedur  Operasi Standar Ujian Negara (POS UN) nomor 0148/SK-POS/BSNP/2011 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Januari 2011. Kepastian formulasi UN ditegaskan setelah Kemendiknas dan Komisi X DPR RI  bersepakat tidak akan memveto  kelulusan dari hasil UN, dan menyetujui  konsep persentase nilai Ujian Nasional dan Ujian Sekolah.
      Berdasarkan Permendiknas No. 45 Tahun 2010 terdapat empat kriteria kelulusan peserta didik yaitu : 1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; dalam arti memiliki rapor semester 1 (satu) sampai dengan semester 6 (enam). 2).Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran estetika, dan (d) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; 3). Lulus Ujian Sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 4). Lulus Ujian Nasional.
      Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, seberapa tepatkah pemerintah menerapkan formula kelulusan siswa dengan menggabungkan 40% nilai ujian sekolah (diambil dari rata-rata raport semester 1,2,3,4, 5 untuk SMP/Sederajat  serta rata-rata raport 3,4,5 untuk sekolah SMA/Sederajat)) dan 60%  Ujian Nasional? Mensikapi kebijakan pemerintah terhadap formulasi kelulusan UN 2011, ada tiga hal  yang mungkin dapat kita kritisi untuk dijadikan bahan  pemikiran bersama: 
Pertama, konsep yang diajukan oleh pemerintah dilihat  dari teori evaluasi  sangatlah bertolak belakang. Karena evaluasi dalam konteks pendidikan memiliki makna usaha sistematis mengumpulan berbagai informasi  untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan nilai dan arti terhadap berbagai aspek (kognitif, afektif, psikomotor dan infrastruktur) pendidikan itu sendiri. 
Coba kita telaah kembali,  suka tidak suka UN  yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat adalah domain akademis, sedangkan Ujian sekolah yang prosesnya dilalui kurang lebih tiga tahun, di dalamnya menyangkut banyak hal yang lebih menyeluruh, seperti sikap,  kebiasaan, moral, pekerti dan sebagainya. Oleh karenanya pemerintah semestinya memberikan nilai presentasi besar terhadap Ujian sekolah,  sesuai semangat KTSP yang memberikan porsi lebih besar terhadap sekolah, dalam menentukan penilaian hasil belajar bagi kelulusan siswa.
Kedua, jika kita mau merenung ke belakang mengenai UN,  permasalahan utama pelaksanaan UN adalah menemukan  konsep Ujian Nasional yang  relative tepat dalam menentukan kelulusan hasil belajar siswa. Kenyataanya, pemerintah  lebih concern  mengotak-atik formulasi UN  berdasarkan pada PP 19 tentang penentu kelulusan siswa, bukan berpedoman pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang lebih menilai hasil belajar siswa secara komprehensif, sehingga akan memunculkan  pertanyaan, benarkah pendidikan kita sesuai dengan standar nasional? jika ternyata belum artinya memang harus ada yang diperbaiki terlebih dahulu agar system  dapat memenuhi  Standar Pendidikan Nasional.
Ketiga,   jika tahun mendatang presentasi Ujian Nasional tetap dipertahankan lebih besar dari Ujian sekolah yakni 60 : 40, berarti pemerintah tetap mengedepankan kemampuan  akademis menjadi segalanya, sehingga jangan heran jika UN hanya akan menjadi ajang  seleksi siswa yang pintar dan tidak pintar. Hal ini tentunya bertentangan dengan makna pembelajaran, yang sejatinya belajar merupakan proses  perubahan siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan yang terjadi selama ini pemerintah cenderung mengedepankan aspek measurement (pengukuran) melalui hasil test  pada saat menentukan kelulusan akuntabilitas kompetensi siswa tanpa memperhatikan domain lainya.       Dengan demikian semuanya berpulang kepada kita, apakah  proses pembelajaran yang dianggap tepat adalah  penilaian dengan  mengedepankan domain akademis yang diisyaratkan dengan memberikan presentasi 60 UN, atau sebaliknya bahwa penilaian selain domain akademisi  jauh lebih penting !. Allohu alam.

Baru-baru ini pemerintah yang diwakili oleh  Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengeluarkan peraturan  mengenai Prosedur  Operasi Standar Ujian Negara (POS UN) nomor 0148/SK-POS/BSNP/2011 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Januari 2011. Kepastian formulasi UN ditegaskan setelah Kemendiknas dan Komisi X DPR RI  bersepakat tidak akan memveto  kelulusan dari hasil UN, dan menyetujui  konsep persentase nilai Ujian Nasional dan Ujian Sekolah.
      Berdasarkan Permendiknas No. 45 Tahun 2010 terdapat empat kriteria kelulusan peserta didik yaitu : 1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; dalam arti memiliki rapor semester 1 (satu) sampai dengan semester 6 (enam). 2).Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran estetika, dan (d) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; 3). Lulus Ujian Sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 4). Lulus Ujian Nasional.
      Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, seberapa tepatkah pemerintah menerapkan formula kelulusan siswa dengan menggabungkan 40% nilai ujian sekolah (diambil dari rata-rata raport semester 1,2,3,4, 5 untuk SMP/Sederajat  serta rata-rata raport 3,4,5 untuk sekolah SMA/Sederajat)) dan 60%  Ujian Nasional? Mensikapi kebijakan pemerintah terhadap formulasi kelulusan UN 2011, ada tiga hal  yang mungkin dapat kita kritisi untuk dijadikan bahan  pemikiran bersama: 
Pertama, konsep yang diajukan oleh pemerintah dilihat  dari teori evaluasi  sangatlah bertolak belakang. Karena evaluasi dalam konteks pendidikan memiliki makna usaha sistematis mengumpulan berbagai informasi  untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan nilai dan arti terhadap berbagai aspek (kognitif, afektif, psikomotor dan infrastruktur) pendidikan itu sendiri. 
Coba kita telaah kembali,  suka tidak suka UN  yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat adalah domain akademis, sedangkan Ujian sekolah yang prosesnya dilalui kurang lebih tiga tahun, di dalamnya menyangkut banyak hal yang lebih menyeluruh, seperti sikap,  kebiasaan, moral, pekerti dan sebagainya. Oleh karenanya pemerintah semestinya memberikan nilai presentasi besar terhadap Ujian sekolah,  sesuai semangat KTSP yang memberikan porsi lebih besar terhadap sekolah, dalam menentukan penilaian hasil belajar bagi kelulusan siswa.
Kedua, jika kita mau merenung ke belakang mengenai UN,  permasalahan utama pelaksanaan UN adalah menemukan  konsep Ujian Nasional yang  relative tepat dalam menentukan kelulusan hasil belajar siswa. Kenyataanya, pemerintah  lebih concern  mengotak-atik formulasi UN  berdasarkan pada PP 19 tentang penentu kelulusan siswa, bukan berpedoman pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang lebih menilai hasil belajar siswa secara komprehensif, sehingga akan memunculkan  pertanyaan, benarkah pendidikan kita sesuai dengan standar nasional? jika ternyata belum artinya memang harus ada yang diperbaiki terlebih dahulu agar system  dapat memenuhi  Standar Pendidikan Nasional.
Ketiga,   jika tahun mendatang presentasi Ujian Nasional tetap dipertahankan lebih besar dari Ujian sekolah yakni 60 : 40, berarti pemerintah tetap mengedepankan kemampuan  akademis menjadi segalanya, sehingga jangan heran jika UN hanya akan menjadi ajang  seleksi siswa yang pintar dan tidak pintar. Hal ini tentunya bertentangan dengan makna pembelajaran, yang sejatinya belajar merupakan proses  perubahan siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan yang terjadi selama ini pemerintah cenderung mengedepankan aspek measurement (pengukuran) melalui hasil test  pada saat menentukan kelulusan akuntabilitas kompetensi siswa tanpa memperhatikan domain lainya.       Dengan demikian semuanya berpulang kepada kita, apakah  proses pembelajaran yang dianggap tepat adalah  penilaian dengan  mengedepankan domain akademis yang diisyaratkan dengan memberikan presentasi 60 UN, atau sebaliknya bahwa penilaian selain domain akademisi  jauh lebih penting !. Allohu alam.

Baca selengkapnya...... klik disini Selengkapnya ....

PTK kepentingan Guru atau Untuk Siswa ?

      Baru-baru ini pemerintah yang diwakili oleh  Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengeluarkan peraturan  mengenai Prosedur  Operasi Standar Ujian Negara (POS UN) nomor 0148/SK-POS/BSNP/2011 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Januari 2011. Kepastian formulasi UN ditegaskan setelah Kemendiknas dan Komisi X DPR RI  bersepakat tidak akan memveto  kelulusan dari hasil UN, dan menyetujui  konsep persentase nilai Ujian Nasional dan Ujian Sekolah.

      Berdasarkan Permendiknas No. 45 Tahun 2010 terdapat empat kriteria kelulusan peserta didik yaitu : 1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; dalam arti memiliki rapor semester 1 (satu) sampai dengan semester 6 (enam). 2).Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran estetika, dan (d) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; 3). Lulus Ujian Sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 4). Lulus Ujian Nasional.

      Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, seberapa tepatkah pemerintah menerapkan formula kelulusan siswa dengan menggabungkan 40% nilai ujian sekolah (diambil dari rata-rata raport semester 1,2,3,4, 5 untuk SMP/Sederajat  serta rata-rata raport 3,4,5 untuk sekolah SMA/Sederajat)) dan 60%  Ujian Nasional?
Mensikapi kebijakan pemerintah terhadap formulasi kelulusan UN 2011, ada tiga hal  yang mungkin dapat kita kritisi untuk dijadikan bahan  pemikiran bersama:

Pertama, konsep yang diajukan oleh pemerintah dilihat  dari teori evaluasi  sangatlah bertolak belakang. Karena evaluasi dalam konteks pendidikan memiliki makna usaha sistematis mengumpulan berbagai informasi  untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan nilai dan arti terhadap berbagai aspek (kognitif, afektif, psikomotor dan infrastruktur) pendidikan itu sendiri.

Coba kita telaah kembali,  suka tidak suka UN  yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat adalah domain akademis, sedangkan Ujian sekolah yang prosesnya dilalui kurang lebih tiga tahun, di dalamnya menyangkut banyak hal yang lebih menyeluruh, seperti sikap,  kebiasaan, moral, pekerti dan sebagainya. Oleh karenanya pemerintah semestinya memberikan nilai presentasi besar terhadap Ujian sekolah,  sesuai semangat KTSP yang memberikan porsi lebih besar terhadap sekolah, dalam menentukan penilaian hasil belajar bagi kelulusan siswa.

Kedua, jika kita mau merenung ke belakang mengenai UN,  permasalahan utama pelaksanaan UN adalah menemukan  konsep Ujian Nasional yang  relative tepat dalam menentukan kelulusan hasil belajar siswa. Kenyataanya, pemerintah  lebih concern  mengotak-atik formulasi UN  berdasarkan pada PP 19 tentang penentu kelulusan siswa, bukan berpedoman pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang lebih menilai hasil belajar siswa secara komprehensif, sehingga akan memunculkan  pertanyaan, benarkah pendidikan kita sesuai dengan standar nasional? jika ternyata belum artinya memang harus ada yang diperbaiki terlebih dahulu agar system  dapat memenuhi  Standar Pendidikan Nasional.

Ketiga,   jika tahun mendatang presentasi Ujian Nasional tetap dipertahankan lebih besar dari Ujian sekolah yakni 60 : 40, berarti pemerintah tetap mengedepankan kemampuan  akademis menjadi segalanya, sehingga jangan heran jika UN hanya akan menjadi ajang  seleksi siswa yang pintar dan tidak pintar. Hal ini tentunya bertentangan dengan makna pembelajaran, yang sejatinya belajar merupakan proses  perubahan siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan yang terjadi selama ini pemerintah cenderung mengedepankan aspek measurement (pengukuran) melalui hasil test  pada saat menentukan kelulusan akuntabilitas kompetensi siswa tanpa memperhatikan domain lainya.
      Dengan demikian semuanya berpulang kepada kita, apakah  proses pembelajaran yang dianggap tepat adalah  penilaian dengan  mengedepankan domain akademis yang diisyaratkan dengan memberikan presentasi 60 UN, atau sebaliknya bahwa penilaian selain domain akademisi  jauh lebih penting !. Allohu alam.





      Baru-baru ini pemerintah yang diwakili oleh  Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengeluarkan peraturan  mengenai Prosedur  Operasi Standar Ujian Negara (POS UN) nomor 0148/SK-POS/BSNP/2011 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Januari 2011. Kepastian formulasi UN ditegaskan setelah Kemendiknas dan Komisi X DPR RI  bersepakat tidak akan memveto  kelulusan dari hasil UN, dan menyetujui  konsep persentase nilai Ujian Nasional dan Ujian Sekolah.

      Berdasarkan Permendiknas No. 45 Tahun 2010 terdapat empat kriteria kelulusan peserta didik yaitu : 1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; dalam arti memiliki rapor semester 1 (satu) sampai dengan semester 6 (enam). 2).Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran estetika, dan (d) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; 3). Lulus Ujian Sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 4). Lulus Ujian Nasional.

      Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, seberapa tepatkah pemerintah menerapkan formula kelulusan siswa dengan menggabungkan 40% nilai ujian sekolah (diambil dari rata-rata raport semester 1,2,3,4, 5 untuk SMP/Sederajat  serta rata-rata raport 3,4,5 untuk sekolah SMA/Sederajat)) dan 60%  Ujian Nasional?
Mensikapi kebijakan pemerintah terhadap formulasi kelulusan UN 2011, ada tiga hal  yang mungkin dapat kita kritisi untuk dijadikan bahan  pemikiran bersama:

Pertama, konsep yang diajukan oleh pemerintah dilihat  dari teori evaluasi  sangatlah bertolak belakang. Karena evaluasi dalam konteks pendidikan memiliki makna usaha sistematis mengumpulan berbagai informasi  untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan nilai dan arti terhadap berbagai aspek (kognitif, afektif, psikomotor dan infrastruktur) pendidikan itu sendiri.

Coba kita telaah kembali,  suka tidak suka UN  yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat adalah domain akademis, sedangkan Ujian sekolah yang prosesnya dilalui kurang lebih tiga tahun, di dalamnya menyangkut banyak hal yang lebih menyeluruh, seperti sikap,  kebiasaan, moral, pekerti dan sebagainya. Oleh karenanya pemerintah semestinya memberikan nilai presentasi besar terhadap Ujian sekolah,  sesuai semangat KTSP yang memberikan porsi lebih besar terhadap sekolah, dalam menentukan penilaian hasil belajar bagi kelulusan siswa.

Kedua, jika kita mau merenung ke belakang mengenai UN,  permasalahan utama pelaksanaan UN adalah menemukan  konsep Ujian Nasional yang  relative tepat dalam menentukan kelulusan hasil belajar siswa. Kenyataanya, pemerintah  lebih concern  mengotak-atik formulasi UN  berdasarkan pada PP 19 tentang penentu kelulusan siswa, bukan berpedoman pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang lebih menilai hasil belajar siswa secara komprehensif, sehingga akan memunculkan  pertanyaan, benarkah pendidikan kita sesuai dengan standar nasional? jika ternyata belum artinya memang harus ada yang diperbaiki terlebih dahulu agar system  dapat memenuhi  Standar Pendidikan Nasional.

Ketiga,   jika tahun mendatang presentasi Ujian Nasional tetap dipertahankan lebih besar dari Ujian sekolah yakni 60 : 40, berarti pemerintah tetap mengedepankan kemampuan  akademis menjadi segalanya, sehingga jangan heran jika UN hanya akan menjadi ajang  seleksi siswa yang pintar dan tidak pintar. Hal ini tentunya bertentangan dengan makna pembelajaran, yang sejatinya belajar merupakan proses  perubahan siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan yang terjadi selama ini pemerintah cenderung mengedepankan aspek measurement (pengukuran) melalui hasil test  pada saat menentukan kelulusan akuntabilitas kompetensi siswa tanpa memperhatikan domain lainya.
      Dengan demikian semuanya berpulang kepada kita, apakah  proses pembelajaran yang dianggap tepat adalah  penilaian dengan  mengedepankan domain akademis yang diisyaratkan dengan memberikan presentasi 60 UN, atau sebaliknya bahwa penilaian selain domain akademisi  jauh lebih penting !. Allohu alam.





Baca selengkapnya...... klik disini Selengkapnya ....
 
Copyright 2009 GURU KAYA ILMU. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan