Baru-baru ini pemerintah yang diwakili oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengeluarkan peraturan mengenai Prosedur Operasi Standar Ujian Negara (POS UN) nomor 0148/SK-POS/BSNP/2011 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Januari 2011. Kepastian formulasi UN ditegaskan setelah Kemendiknas dan Komisi X DPR RI bersepakat tidak akan memveto kelulusan dari hasil UN, dan menyetujui konsep persentase nilai Ujian Nasional dan Ujian Sekolah.
Berdasarkan Permendiknas No. 45 Tahun 2010 terdapat empat kriteria kelulusan peserta didik yaitu : 1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; dalam arti memiliki rapor semester 1 (satu) sampai dengan semester 6 (enam). 2).Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran estetika, dan (d) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; 3). Lulus Ujian Sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 4). Lulus Ujian Nasional.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, seberapa tepatkah pemerintah menerapkan formula kelulusan siswa dengan menggabungkan 40% nilai ujian sekolah (diambil dari rata-rata raport semester 1,2,3,4, 5 untuk SMP/Sederajat serta rata-rata raport 3,4,5 untuk sekolah SMA/Sederajat)) dan 60% Ujian Nasional?
Mensikapi kebijakan pemerintah terhadap formulasi kelulusan UN 2011, ada tiga hal yang mungkin dapat kita kritisi untuk dijadikan bahan pemikiran bersama:
Pertama, konsep yang diajukan oleh pemerintah dilihat dari teori evaluasi sangatlah bertolak belakang. Karena evaluasi dalam konteks pendidikan memiliki makna usaha sistematis mengumpulan berbagai informasi untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan nilai dan arti terhadap berbagai aspek (kognitif, afektif, psikomotor dan infrastruktur) pendidikan itu sendiri.
Coba kita telaah kembali, suka tidak suka UN yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat adalah domain akademis, sedangkan Ujian sekolah yang prosesnya dilalui kurang lebih tiga tahun, di dalamnya menyangkut banyak hal yang lebih menyeluruh, seperti sikap, kebiasaan, moral, pekerti dan sebagainya. Oleh karenanya pemerintah semestinya memberikan nilai presentasi besar terhadap Ujian sekolah, sesuai semangat KTSP yang memberikan porsi lebih besar terhadap sekolah, dalam menentukan penilaian hasil belajar bagi kelulusan siswa.
Kedua, jika kita mau merenung ke belakang mengenai UN, permasalahan utama pelaksanaan UN adalah menemukan konsep Ujian Nasional yang relative tepat dalam menentukan kelulusan hasil belajar siswa. Kenyataanya, pemerintah lebih concern mengotak-atik formulasi UN berdasarkan pada PP 19 tentang penentu kelulusan siswa, bukan berpedoman pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang lebih menilai hasil belajar siswa secara komprehensif, sehingga akan memunculkan pertanyaan, benarkah pendidikan kita sesuai dengan standar nasional? jika ternyata belum artinya memang harus ada yang diperbaiki terlebih dahulu agar system dapat memenuhi Standar Pendidikan Nasional.
Ketiga, jika tahun mendatang presentasi Ujian Nasional tetap dipertahankan lebih besar dari Ujian sekolah yakni 60 : 40, berarti pemerintah tetap mengedepankan kemampuan akademis menjadi segalanya, sehingga jangan heran jika UN hanya akan menjadi ajang seleksi siswa yang pintar dan tidak pintar. Hal ini tentunya bertentangan dengan makna pembelajaran, yang sejatinya belajar merupakan proses perubahan siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan yang terjadi selama ini pemerintah cenderung mengedepankan aspek measurement (pengukuran) melalui hasil test pada saat menentukan kelulusan akuntabilitas kompetensi siswa tanpa memperhatikan domain lainya.
Dengan demikian semuanya berpulang kepada kita, apakah proses pembelajaran yang dianggap tepat adalah penilaian dengan mengedepankan domain akademis yang diisyaratkan dengan memberikan presentasi 60 UN, atau sebaliknya bahwa penilaian selain domain akademisi jauh lebih penting !. Allohu alam.
Baru-baru ini pemerintah yang diwakili oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengeluarkan peraturan mengenai Prosedur Operasi Standar Ujian Negara (POS UN) nomor 0148/SK-POS/BSNP/2011 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Januari 2011. Kepastian formulasi UN ditegaskan setelah Kemendiknas dan Komisi X DPR RI bersepakat tidak akan memveto kelulusan dari hasil UN, dan menyetujui konsep persentase nilai Ujian Nasional dan Ujian Sekolah.
Berdasarkan Permendiknas No. 45 Tahun 2010 terdapat empat kriteria kelulusan peserta didik yaitu : 1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; dalam arti memiliki rapor semester 1 (satu) sampai dengan semester 6 (enam). 2).Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri atas: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (c) kelompok mata pelajaran estetika, dan (d) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; 3). Lulus Ujian Sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 4). Lulus Ujian Nasional.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, seberapa tepatkah pemerintah menerapkan formula kelulusan siswa dengan menggabungkan 40% nilai ujian sekolah (diambil dari rata-rata raport semester 1,2,3,4, 5 untuk SMP/Sederajat serta rata-rata raport 3,4,5 untuk sekolah SMA/Sederajat)) dan 60% Ujian Nasional?
Mensikapi kebijakan pemerintah terhadap formulasi kelulusan UN 2011, ada tiga hal yang mungkin dapat kita kritisi untuk dijadikan bahan pemikiran bersama:
Pertama, konsep yang diajukan oleh pemerintah dilihat dari teori evaluasi sangatlah bertolak belakang. Karena evaluasi dalam konteks pendidikan memiliki makna usaha sistematis mengumpulan berbagai informasi untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan nilai dan arti terhadap berbagai aspek (kognitif, afektif, psikomotor dan infrastruktur) pendidikan itu sendiri.
Coba kita telaah kembali, suka tidak suka UN yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat adalah domain akademis, sedangkan Ujian sekolah yang prosesnya dilalui kurang lebih tiga tahun, di dalamnya menyangkut banyak hal yang lebih menyeluruh, seperti sikap, kebiasaan, moral, pekerti dan sebagainya. Oleh karenanya pemerintah semestinya memberikan nilai presentasi besar terhadap Ujian sekolah, sesuai semangat KTSP yang memberikan porsi lebih besar terhadap sekolah, dalam menentukan penilaian hasil belajar bagi kelulusan siswa.
Kedua, jika kita mau merenung ke belakang mengenai UN, permasalahan utama pelaksanaan UN adalah menemukan konsep Ujian Nasional yang relative tepat dalam menentukan kelulusan hasil belajar siswa. Kenyataanya, pemerintah lebih concern mengotak-atik formulasi UN berdasarkan pada PP 19 tentang penentu kelulusan siswa, bukan berpedoman pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang lebih menilai hasil belajar siswa secara komprehensif, sehingga akan memunculkan pertanyaan, benarkah pendidikan kita sesuai dengan standar nasional? jika ternyata belum artinya memang harus ada yang diperbaiki terlebih dahulu agar system dapat memenuhi Standar Pendidikan Nasional.
Ketiga, jika tahun mendatang presentasi Ujian Nasional tetap dipertahankan lebih besar dari Ujian sekolah yakni 60 : 40, berarti pemerintah tetap mengedepankan kemampuan akademis menjadi segalanya, sehingga jangan heran jika UN hanya akan menjadi ajang seleksi siswa yang pintar dan tidak pintar. Hal ini tentunya bertentangan dengan makna pembelajaran, yang sejatinya belajar merupakan proses perubahan siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan yang terjadi selama ini pemerintah cenderung mengedepankan aspek measurement (pengukuran) melalui hasil test pada saat menentukan kelulusan akuntabilitas kompetensi siswa tanpa memperhatikan domain lainya.
Dengan demikian semuanya berpulang kepada kita, apakah proses pembelajaran yang dianggap tepat adalah penilaian dengan mengedepankan domain akademis yang diisyaratkan dengan memberikan presentasi 60 UN, atau sebaliknya bahwa penilaian selain domain akademisi jauh lebih penting !. Allohu alam.
2 komentar:
INFO KELULUSAN CPNS 2016 :
HUBUNGI :
Bpk Drs Warli, M.Si.
(Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Antar Lembaga) BKN PUSAT Jakarta..
TLP : 08124157880.
INI NYATA :
Setelah saya mencoba memhubungi Bpk Drs Warli, M.Si. Sebagai (Kepala Biro Kepegawaia dan Kerjasama antar Lembaga) BKN PUSAT Jakarta.. dengan No.TLP. 0812-415-7880. walaupun awalnya saya ragu, tapi saya tetap memberanikan diri dan alhamdulillah saya bisa lulus CPNS..
Terima kasih bnyk buat Bpk Drs Warli, M.Si.( Kepala Biro Kepegawaia dan Kerjasama antar Lembaga ) BKN PUSAT Jakarta.. yg sudah banyak membantu saya untuk kelulusan CPNS 2015 kemaren.
Ujian CPNS kemarin adalah merupakan ujian CPNS kali kelima yang pernah saya ikuti.
Alhamdulillah tercapai sudah cita cita saya untuk menjadi abdi negara setelah sebelumnya selalu gagal dalam test.
Bagi calon pelamar CPNS 2016. Jika ingin lulus CPNS satu-satunya cara adalah, Anda langsun kordinasi Kepala Sekertariak Panitia Di Pusat BKN,Bpk Drs Warli, M.Si.( Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Antar Lembaga) No Tlp: 0812-415-7880.
Trima kasih.....
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah Saya sudah jadi PNS bu, Berkat Informasi nya saya bisa berhubungan langsung dengan Pak Warli, beliau yang bantu saya sampai jadi PNS, Sekali lagi terima kasih banyak Bu atas semuanya bagi tman2 yang ingin jadi pns lansung aja hungin pak warli ini no tlfon nyaa 08124157880 mksih...
Posting Komentar